EDITORIAL PLUSMINUS - Bukan kapitasil namanya kalau tak
panjang akalnya. Ada saja trik untuk mengotak-atik peraturan yang ada demi
tercapainya tujuannya.
Wartawan setidaknya mencatat 4 aturan
berkenaan dengan pelaksanaan aktifitas eksplorasi survey seismic yang berlaku
di Sumatera Selatan.
Pelanggaran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU)
51 Tahun 1960 tentang LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU
KUASANYA YANG SAH
Dikutip
dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) PERPPU 51/1960, disebutkan bahwa pengertian memakai
tanah ialah menduduki, mengerjakan
dan/atau mengenai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan
diatasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri
atau tidak.
Dari frasa “atau mengenai sebidang tanah” PERPPU
51/1960 dalam konteks operasi survey seismic 3D Idaman ini, dipahami sebagai
tujuan pemakaian tanah itu sendiri yakni digunakan untuk kepentingan kegiatan
eksplorasi.
Ekplorasi berdasarkan
dari Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (8) UU. 22/2001 tentang MIGAS, didefinisikan
sebagai kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi
untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di
Wilayah Kerja yang ditentukan.
Lebih teknis lagi
kegiatan eksplorasi tersebut dibagi dalam tiga kelompok besar yakni aktifitas topografi, drilling dan recording.
Bias inilah yang
kemudian dimanipulasi oleh badan usaha seolah-olah pemakaian tanah hanya pada
aktifitas dan/atau kegiatan eksplorasinya saja dan bukan pada tujuan untuk apa
(tujuan) pemakaian tanah tersebut digunakan/dipakai.
Dengan kata lain, saat suatu wilayah kerja ditetapkan sebagai
daerah yang akan diekplorasi, maka secara otomatis tanah (di daerah) tersebut
telah digunakan/dipakai sehingga timbulah hak dan kewajiban masing-masing
pihak yang bersangkutan saat di atas tanah tersebut dilakukan aktifitas
topografi, drilling dan recording.
Aturan telah tegas
melarang, pemegang hak atas tanah (kelompok
POSKKO) tak pernah memberikan izin baik lisan apalagi tulisan, namun pihak
pelaksana kegiatan ekplorasi sesimic PT
Daqing Citra Petroleum Technology Service (DCPTS) tetap beraktifitas.
Pemberitahuan tertulis
tentang larangan memakai tanah melalui surat sudah disampaikan termasuk papan
pemberitahuan laranganpun telah dipasang di beberapa tempat, apa namanya kalau
bukan Perbuatan Melanggar Hukum (PMH).
Melanggar Ketentuan Pasal 35, UU No. 22 Tahun 2001 tentang MIGAS
PT DCPTS diduga telah sengaja pula memanipulasi
ketentuan Pasal 35, UU MIGAS. Badan usaha yang seharusnya terlebih dahulu memperlihatkan kontrak kerjanya atau salinan yang sah
serta memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilaksanakan langsung
kepada pemegang hak atas tanah, malah tidak demikian.
PT DCPTS sembunyi di balik nama PT
PERTAMINA EP dengan maksud diduga untuk mengelabui peserta sosialisasi
seolah-olah perkerjaan Survey Seismic adalah pekerjaan yang dikerjakan langsung
oleh PT PERTAMINA EP.
PT DCPTS tidak pula memberitahukan
maksud dan tempat kegiatan yang akan dilaksanakan langsung kepada pemegang hak
atas tanah namun hanya keterwakilan dari warga masyarakat saja.
PT DCPTS tidak pernah memperlihatkan
kontrak kerjanya atau salinannya yang sah sebangaimana amanat Pasal 35
tersebut.
1.
UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
Gubernur Sumatera Selatan sendiri
melalui Biro Hukum dan Hak
Azazi Manusia sebetulnya telah menyadari bahwa peraturan Kepala
Daerah yang dibuatnya telah banyak mengalami perubahan akibat dampak
pemberlakuan UU Cipta Kerja.
Dari
hasil telusur, diperoleh informasi bahwa Gubernur :
1.
Telah
menyurati Kepala Perangkat Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera
Selatan Nomor 188.342/0315/II/2002 perihal Tindak Lanjut Pembentukan Perda dan
Perkada yang Terdampak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
tanggal 07 Februari 2022;
2.
Surat
Edaran Gubernur Sumatera yang disampaikan kepada Bupati/Walikota Se-Sumatera
Selatan dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota Se-Sumatera Selatan Nomor 012 tentang
Identifikasi Perda dan Perkada Tindak Lanjut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja tanggal 19 Maret 2021;
Namun sayang, entah apa saja
kerjanya Kepala Perangkat Daerah hingga bulan Juli 2024 ini, Peraturan Gubernur
yang mengatur Pedoman Tarif Nilai Ganti Kerugian berkenaan dengan aktifitas
eksplorasi belum ada perubahan sama sekali.
2.
Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 40 tahun 2017
tentang Pedoman Tarif Nilai Ganti Kerugian Atas Pemakaian Tanah dan Pembebasan
Tanam Tumbuh dan Bangunan Di Atasnya Akibat Operasi Eksplorasi dan Eksploitasi.
PERGUB 40/2017 yang
dipedomani pelaksana kegiatan untuk mengganti nilai kerugian atas pemakaian
tanah telah terang-terangan berpihak pada praktik konglomerasi industri.
Dalam peraturan tersebut,
Gubernur telah membuat celah dengan memberikan pilihan yang paling
menguntungkan kepada PT DCPTS yakni hanya
mebayar ganti kerugian terhadap jalur rintisan saja sebesar Rp. 5.000,-
permeter maju dan Rp. 50.000,- perlubang bor.
Sementara, jika ketentuan
ini dilaksanakan, maka ketentuan ganti
kerugian atas pemakaian tanah tidak dapat dilaksanakan secara bersamaan.
Pasal 2 ayat (7) :
Apabila suatu tempat digunakan untuk penyelidikan/survey
seismik pada kegiatan eksplorasi, maka ganti kerugiannya ditetapkan sebagai
berikut :
a. Rintisan
Seismik per M (meter) panjang lintasan mendapat ganti rugi Rp 5.000,-
b. Lubang
Seismik pada kegiatan eksplorasi mendapat ganti kerugian Rp 50.000,/lubang.
c.
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a dan b
dilaksanakan, maka ketentuan ayat (1) tidak dapat dilakukan secara bersamaan
Pasal inilah yang menjadi pokok persoalannya. Nilai pembayaran yang semestinya diterima berdasarkan hitungan luas
area (meter persegi) yang dipergunakan/dipakai untuk kegiatan seismic karena
dampaknya, tidak pernah tersosialisasi dan sampai kepada pemegang hak
sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1).
Dengan kata lain, masyarakat
(pemegang hak) seharusnya berhak menerima
pembayaran ganti kerugian atas pemakaian tanah akibat operasi seimic dihitung
berdasarkan luas area yang terpakai dengan besaran nilai tergantung pada jenis
lahannya.
Lihat ketentuan Pasal 2 ayat
(1) ini, pemakaian tanahnya diganti, dan
dihitung dengan tarif tergantung jenis lahannya :
Pada Pasal
2 ayat (1) :
Berdasarkan
panjang jalur kegiatan, nilai ganti kerugian atas pemakaian tanah akibat
operasi eksplorasi minyak, gas bumi, pertambangan dan energi ditetapkan sebagai
berikut :
a)
Tanah
belukar, rawa, alang-alang yang ada pemiliknya Rp. 1,850,-/m2
b)
Ladang
yang diusahakan palawija dan sayur-sayuran Rp. 3.200,-/m2
c)
Ladang/sawah
yang ada padinya Rp. 3.800,-/m2
d)
Kebun
tanaman perkebunan Rp. 4.550,-/m2
e)
Kebun
tanaman buah-buahan dan lain-lain Rp. 3.350,-/m2
Lalu bagaimana pasal ini kemudian diterapkan?.
Sayangnya si pembuat aturan
tak mampu menjelaskan secara terperinci, absolut dan tidak ambigu. Dinas
terkait termasuk Biro Hukum Pemprov Sumsel pilih diam tak membalas surat
mengenai penjelasan pasal sebagaimana dimaksud.
Sini, biar redaksi saja yang menjelaskan.
Dalam frasa “panjang jalur kegiatan” dan “akibat operasi eksplorasi”, (tentu) kalimat
ini tidak dapat dipisahkan.
Jika frasa “panjang jalur kegiatan” hanya berdiri
sendiri, maka dapat dimaknai hanya satu lintasan panjang saja. Namun karena ada
kalimat lain yang terhubung lainnya, maka maknanya menjadi berubah.
Frasa “akibat operasi eksplorasi” menunjukan bahwa pada jalur kegiatan tersebut terdapat dampak eksplorasi
yakni rambat getaran saat aktifitas recording yang menggunakan (bom) dinamit.
Rambat getaran tersebut
menjangkau hingga ke jalur kegiatan berikutnya, demikian seterusnya.
Jadi, pemakaian tanah akaibat operasi eksplorasi ini adalah seluruh luas
tanah yang terkena lintasan pada jalur kegiatan atas rambat getaran yang
ditimbulkan.
Sampai di sini paham??
Jika belum, Redaksi akan
memberikan ilustrasi contoh yang paling sederhana dengan bahasa yang paling
awam dan singkat padat lagi jelas berikut dengan seberapa besar nilai ganti
kerugian yang seharusnya di terima (masyarakat) pemegang hak atas tanah
tersebut.
Diketahui : Mugito memiliki
(jenis) lahan perkebunan karet seluas 1 Hektare (Ha). Lahan tersebut jika
dikonversi dalam satuan meter persegi (M2), maka 1 Ha. = 10.000 M2.
Ketentuan huruf d) Pasal 2
ayat (1) Peraturan Gubernur No. 40 tahun 2017 untuk jenis lahan perkebunan
tarifnya adalah sebesar Rp. 4.550,-
Maka, nilai tarif tersebut
dikalikan luas lahan milik Pak Mugito yakni, 10.000 M2 x Rp. 4.550,-
= Rp. 45.500.000,-
Pertanyaan : Mengapa Mugito menerima
sampai sebesar itu, tidak seperti yang dijelaskan oleh PT DCPTS?
Jawaban : Karena PT DCPTS bersama
PT PERTAMINA adalah perusahaan pengejar keuntungan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan (oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama)
tidak lagi diganti oleh Negara seperti kontrak-kontrak sebelumnya.
Pembagian
berdasarkan produksi yang diukur setelah keluar dari titik penyerahan tanpa dikurangi
biaya-biaya produksi.
Jadi, semakin
kecil biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor, maka akan lebih menguntungkan
bagi mereka.
Dari telusur aturan dan kondisi yang
terjadi, sedikitnya terdapat 39 warga Kabupaten PALI telah memberikan kuasanya
untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan hak-hak atas tanah mereka.
Mereka dengan tegas menolak aktifitas eksplorasi seismic di atas
tanah tersebut dan meminta Bupati/Gubernur sebagai Penguasa Daerah
mengambil tindakan
sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) dan (2) PERPPU 51
tahun 1960 :
Pasal 3.
1)
Penguasa Daerah dapat mengambil
tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan
bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang ada di daerahnya
masing-masing pada suatu waktu.
Pasal 4.
1)
Dalam rangka menyelesaikan
pemakaian tanah sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 3, maka Penguasa Daerah
dapat memerintahkan kepada yang memakainya untuk mengosongkan tanah yang
bersangkutan dengan segala barang dan orang yang menerima hak dari padanya.
2)
Jika setelah berlakunya tenggang
waktu yang ditentukan didalam perintah pengosongan tersebut pada ayat (1) pasal
ini perintah itu belum dipenuhi oleh yang bersangkutan, maka Penguasa Daerah
atau pejabat yang diberi perintah olehnya melaksanakan pengosongan itu atas
biaya pemakai tanah itu sendiri.
Tulis Komentar